Selasa, 25 Oktober 2016

PENGALAMAN SAAT TIDAK JADI MEMBELI CORE PRODUCT DI JASA PRINT

PENGALAMAN SAAT TIDAK JADI MEMBELI CORE PRODUCT DI JASA PRINT
sebelum penulis menceritakan pengalamannya, mari pelajari terlebih dahulu pengertian suatu produk dari pandangan para ahli.
Dalam pengertiannya, Philip kotler menyatakan bahwa produk merupakan “segala sesuatu yang ditawarkan ke pasar untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan” (1997:52). Namun selama ini banyak penjual melakukan kesalahan dengan memberikan perhatian lebih banyak pada produk fisik daripada manfaat yang dihasilkan dari produknya. Mereka menempatkan diri lebih dari sebagai penjual daripada memberikan pemecahan kebutuhan. Padahal perusahaan harus berpusat pada kebutuhan pelanggan, bukan hanya pada keinginan yang sudah ada. Hal ini dikarenakan produk merupakan alat untuk memecahkan masalah konsumen.
Fandy Tjiptono menyatakan bahwa dalam merencanakan penawaran suatu produk, pemasar perlu memahami lima tingkatan produk:
1.    Produk utama atau inti (core benefit), yaitu manfaat yang sebenarnya dibutuhkan dan akan dikonsumsi pelanggan setiap produk.
2.    Produk generic, produk dasar yang memenuhi fungsi produk paling dasar/rancangan produk minimal dapat berfungsi.
3.    Produk harapan (expected product) yaitu produk formal yang ditawarkan dengan berbagai atribut dan kondisinya secara normal diharapkan dan disepakati untuk dibeli.
4.    Produk pelengkap (equipmented product) yaitu berbagai atribut produk yang dilengkapi/ditambahi berbagai manfaat dan layanan sehingga dapat menentukan tambahan kepuasan dan dapat dibedakan dengan produk asing.
5.    Produk potensial, yaitu segala macam tambahan dan perubahan yang mungkin dikembangkan untuk suatu produk dimasa datang (1999:96- 97).

Dibawah ini merupakan pengalaman penulis tentang suatu core product yang ditawarkan penjual namun penjual tersebut tidak memperhatikan adanya equipmented product.
·      Suatu saat pada malam hari saya berniat untuk mencetak tugas bahasa inggris dengan alas an karena besok harinya merupakan hari terakhir pengumpulan tugas, dengan tergesa-gesa saya mencari tempat jasa print di sekitar rumah saya. Namun dengan kondisi yang hampir larut malam, dan jarang sekali ada jasa print yang buka 24 jam saya pun tidak menemukan jasa print yang berada didekat rumah saya. Tapi saya tidak patah semangat saya terus mencari hingga sampainya saya di daerah kota sukabumi, jarak yang ditempuh pun sudah lumayan cukup jauh dari posisi rumah saya berada. Tapi akhirnya saya menemukan jasa print yang ternyata buka 24 jam, dan saat itu pun saya langsung menghampiri toko yang menyediakan jasa print tersebut. Saya melihat hanya ada satu orang karyawan di toko tersebut, dengan rasa tak sabar saya pun langsung memberikan tugas saya yang telah saya simpan pada flash disk pada karyawan teresbut, namun dengan wajah yang sedikit murung campur lelah salah satu karyawan tersebut bertanya kepada saya “mau ngapain mas??” dengan nada sedikit keras, dan saya menjawab “mau ngeprint tugas mas, bisa kan??” karyawan tersebut menjawab “bisa” namun dengan wajah yang agak sedikit marah, dengan menggerutu sambil menyalakan computer yang ia gunakan dan mengecek file yang hendak akan di print.
Saat itu saya pun langsung mengambil flashdisk saya kembali dan tidak jadi untuk memakai jasa print tersebut, karena saya pikir pelayanan karyawan tersebut kepada saya kurang optimal. Dengan respons yang kurang baik dari karyawan jasa print tersebut saya langsung berniat untuk mencari jasa print baru.
Dari cerita diatas dapat diambil kesimpulan bahwa seorang wirausaha tidaklah hanya memikirkan produk utama saja, namun produk yang lain pun harus lah diperhatikan dan dimaksimalkan, sehingga bisa menimbulkan kepuasan pada pelanggan.


Daftar pustaka

http://eprints.uny.ac.id/8664/3/bab%202%20-07404244008.pdf

Jumat, 21 Oktober 2016

TUGAS MANDIRI


Analisis Etika Periklanan di Indonesia “iklan Shampo Clear”


Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
di Institut Manajemen Wiyata Indonesia

Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh0tKFFIzXx2reLz05KKLqB_EDo2IeoNnik78xvY-Vb6sc5aBspDUfW432pOwkh3OyCtLWW6rsY9w9hY2jxv8fBYhNdRYT5Hhd3BK7D7GkND3b9N171eeVYjyr2mH8Z9r17c87Q6r6BI7XI/s320/LOGO+IMWI+UPDATE.jpg





Disusun Oleh:

Nama             :           Wisnu Septyan Martin
Program        :           Administrasi Bisnis





INSTITUT MANAJEMEN WIYATA INDONESIA
2016





KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA sehingga makalah analisis Etika Periklanan di Indonesia “iklan Shampo Clear” ini dapat tersusun hingga selesai . Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya. Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi. 
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, Kami yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.





Sukabumi, Oktober 2016


Penulis


















BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Etika periklanan merupakan salah satu hal penting yang diperlukan dalan mengkaji serta menayangkan suatu iklan, dengan tujuan agar iklan yang ditayangkan dapat mencapai target yang diharapkan. Untuk membuat konsumen tertarik, iklan harus dibuat menarik bahkan kadang dramatis. Tapi iklan tidak diterima oleh target tertentu (langsung). Iklan dikomunikasikan kepada khalayak luas (melalui media massa komunikasi iklan akan diterima oleh semua orang: semua usia, golongan, suku, dsb). Sehingga iklan harus memiliki etika, baik moral maupun bisnis.
Periklanan adalah penggunaan media bauran oleh penjual untuk mengkomunikasikan informasi persuasif tentang produk, jasa atau pun organisasi dan merupakan alat promosi yang kuat “M. Suyanto (2007: 143)”. Dengan adanya persaingan global sekarang ini tentunya komunikasi menjadi lebih rumit karena banyaknya saingan, oleh karena itu diperlukan suatu strategi komunikasi yang lebih kreatif agar suatu sistem komunikasi dapat berjalan dengan sempurna. Dalam periklanan diperlukan suatu strategi komunikasi yang kreatif, namun hal tersebut dapat menjadi bumerang manakala strategi tersebut berlawanan dengan adanya suatu etika dalam periklanan.
Clear merupakan sebuah produk shampo rambut yang dibuat pertama kali pada tahun 1975, penjualan Clear secara konsisten mengalami pertumbuhan yang baik setiap tahun. Dewasa ini clear menjadi salah satu merek sampo terbesar di Indonesia. Clear dianggap sebagai merek “yang keren” di antara para remaja dan pekerja pemula berusia 18-25 tahun yang merupakan pasar sasaran utama. Produk ini telah dipasarkan secara luas dan menembus pasar nasional bahkan sampai ke pelosok. Untuk selalu melakukan beberapa aktivasi yaitu untuk membuat Clear tetap cocok dengan pasar sasaran, clear melakukan cara pemasaran yang salah satunya menggunakan media periklanan. Namun dalam media iklan yang telah diedarkan, ada beberapa hal yang ternyata berlawanan terhadap etika yang ada dalam periklanan di Indonesia.
Oleh karena hal tersebut Dari latar belakang diatas maka penulis menyusun makalah yang berjudul analisis Etika Periklanan di Indonesia “iklan Shampo Clear”.












BAB II
PEMBAHASAN

A.   Pengertian Etika Periklanan
Etika merupakan Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (KBBI)
1.    Ciri-ciri iklan yang baik :
·      Etis: berkaitan dengan kepantasan.
·      Estetis: berkaitan dengan kelayakan (target market, target audiennya, kapan harus ditayangkan?).
·      Artistik: bernilai seni sehingga mengundang daya tarik khalayak.

2.    Contoh Penerapan Etika
·      Iklan rokok: Tidak menampakkan secara eksplisit orang merokok.
·      Iklan pembalut wanita: Tidak memperlihatkan secara realistis dengan memperlihatkan daerah kepribadian wanita tersebut
·      Iklan sabun mandi: Tidak dengan memperlihatkan orang mandi secara utuh.

3.    Etika secara umum
·      Jujur : tidak memuat konten yang tidak sesuai dengan kondisi produk yang diiklankan
·      Tidak memicu konflik SARA
·      Tidak mengandung pornografi
·      Tidak bertentangan dengan norma-norma yang berlaku.
·      Tidak melanggar etika bisnis, ex: saling menjatuhkan produk tertentu dan sebagainya.
·      Tidak plagiat

B.   ETIKA PARIWARA INDONESIA (EPI)
(Disepakati Organisasi Periklanan dan Media Massa, 2005). Berikut ini kutipan beberapa etika periklanan yang terdapat dalam kitab EPI.
1.    Tata Krama Isi Iklan
Hak Cipta: Penggunaan materi yang bukan milik sendiri, harus atas ijin tertulis dari pemilik atau pemegang merek yang sah.
2.    Bahasa: Iklan harus disajikan dalam bahasa yang bisa dipahami oleh khalayak sasarannya, dan tidak menggunakan persandian (enkripsi) yang dapat menimbulkan penafsiran selain dari yang dimaksudkan oleh perancang pesan iklan tersebut. Tidak boleh menggunakan kata-kata superlatif seperti “paling”, “nomor satu”, ”top”, atau kata-kata berawalan “ter“. Penggunaan kata ”100%”, ”murni”, ”asli” untuk menyatakan sesuatu kandungan harus dapat dibuktikan dengan pernyataan tertulis dari otoritas terkait atau sumber yang otentik. Penggunaan kata ”halal” dalam iklan hanya dapat dilakukan oleh produk-produk yang sudah memperoleh sertifikat resmi dari Majelis Ulama Indonesia, atau lembaga yang berwenang.
3.    Tanda Asteris : Tanda asteris tidak boleh digunakan untuk menyembunyikan, menyesatkan, membingungkan atau membohongi khalayak tentang kualitas, kinerja, atau harga sebenarnya dari produk yang diiklankan, ataupun tentang ketidaktersediaan sesuatu produk. Tanda asteris hanya boleh digunakan untuk memberi penjelasan lebih rinci atau sumber dari sesuatu pernyataan yang bertanda tersebut.
4.    Penggunaan Kata ”Satu-satunya”: Iklan tidak boleh menggunakan kata-kata “satusatunya” atau yang bermakna sama, tanpa secara khas menyebutkan dalam hal apa produk tersebut menjadi yang satu-satunya dan hal tersebut harus dapat dibuktikan dan dipertanggungjawabkan.
5.    Pemakaian Kata “Gratis”: Kata “gratis” atau kata lain yang bermakna sama tidak boleh dicantumkan dalam iklan, bila ternyata konsumen harus membayar biaya lain. Biaya pengiriman yang dikenakan kepada konsumen juga harus dicantumkan dengan jelas.
6.    Pencantum Harga: Jika harga sesuatu produk dicantumkan dalam iklan, maka ia harus ditampakkan dengan jelas, sehingga konsumen mengetahui apa yang akan diperolehnya dengan harga tersebut.
7.    Garansi: Jika suatu iklan mencantumkan garansi atau jaminan atas mutu suatu produk, maka dasar-dasar jaminannya harus dapat dipertanggung- jawabkan.
8.    Janji Pengembalian Uang (warranty): (a) Syarat-syarat pengembalian uang tersebut harus dinyatakan secara jelas dan lengkap, antara lain jenis kerusakan atau kekurangan yang dijamin, dan jangka waktu berlakunya pengembalian uang. (b) Pengiklan wajib mengembalikan uang konsumen sesuai janji yang telah diiklankannya.
9.    Rasa Takut dan Takhayul: Iklan tidak boleh menimbulkan atau mempermainkan rasa takut, maupun memanfaatkan kepercayaan orang terhadap takhayul, kecuali untuk tujuan positif.
10.     Kekerasan: Iklan tidak boleh – langsung maupun tidak langsung -menampilkan adegan kekerasan yang merangsang atau memberi kesan membenarkan terjadinya tindakan kekerasan.
11.     Keselamatan: Iklan tidak boleh menampilkan adegan yang mengabaikan segi-segi keselamatan, utamanya jika ia tidak berkaitan dengan produk yang diiklankan.
12.     Perlindungan Hak-hak Pribadi: Iklan tidak boleh menampilkan atau melibatkan seseorang tanpa terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari yang bersangkutan, kecuali dalam penampilan yang bersifat massal, atau sekadar sebagai latar, sepanjang penampilan tersebut tidak merugikan yang bersangkutan.
13.     Hiperbolisasi: Boleh dilakukan sepanjang ia semata-mata dimaksudkan sebagai penarik perhatian atau humor yang secara sangat jelas berlebihan atau tidak masuk akal, sehingga tidak menimbulkan salah persepsi dari khalayak yang disasarnya.
14.     Waktu Tenggang (elapse time): Iklan yang menampilkan adegan hasil atau efek dari penggunaan produk dalam jangka waktu tertentu, harus jelas mengungkapkan memadainya rentang waktu tersebut.
15.     Penampilan Pangan: Iklan tidak boleh menampilkan penyia-nyiaan, pemborosan, atau perlakuan yang tidak pantas lain terhadap makanan atau minuman.
16.     Penampilan Uang: Penampilan dan perlakuan terhadap uang dalam iklan haruslah sesuai dengan norma-norma kepatutan, dalam pengertian tidak mengesankan pemujaan ataupun pelecehan yang berlebihan. Iklan tidak boleh menampilkan uang sedemikian rupa sehingga merangsang orang untuk memperolehnya dengan cara-cara yang tidak sah. Iklan pada media cetak tidak boleh menampilkan uang dalam format frontal dan skala 1:1, berwarna ataupun hitam-putih. Penampilan uang pada media visual harus disertai dengan tanda “specimen” yang dapat terlihat Jelas.
17.     Kesaksian Konsumen (testimony): Pemberian kesaksian hanya dapat dilakukan atas nama perorangan, bukan mewakili lembaga, kelompok, golongan, atau masyarakat luas. Kesaksian konsumen harus merupakan kejadian yang benar-benar dialami, tanpa maksud untuk melebih-lebihkannya. Kesaksian konsumen harus dapat dibuktikan dengan pernyataan tertulis yang ditanda tangani oleh konsumen tersebut. Identitas dan alamat pemberi kesaksian jika diminta oleh lembaga penegak etika, harus dapat diberikan secara lengkap. Pemberi kesaksian pun harus dapat dihubungi pada hari dan jam kantor biasa.
18.     Anjuran (endorsement): Pernyataan, klaim atau janji yang diberikan harus terkait dengan kompetensi yang dimiliki oleh penganjur. Pemberian anjuran hanya dapat dilakukan oleh individu, tidak diperbolehkan mewakili lembaga, kelompok, golongan, atau masyarakat luas.
19.     Perbandingan: Perbandingan langsung dapat dilakukan, namun hanya terhadap aspek-aspek teknis produk, dan dengan kriteria yang tepat sama. Jika perbandingan langsung menampilkan data riset, maka metodologi, sumber dan waktu penelitiannya harus diungkapkan secara jelas. Pengggunaan data riset tersebut harus sudah memperoleh persetujuan atau verifikasi dari organisasi penyelenggara riset tersebut.  Perbandingan tak langsung harus didasarkan pada kriteria yang tidak menyesatkan khalayak.
20.     Perbandingan Harga: Hanya dapat dilakukan terhadap efisiensi dan kemanfaatan penggunaan produk, dan harus diserta dengan penjelasan atau penalaran yang memadai.
21.     Merendahkan: Iklan tidak boleh merendahkan produk pesaing secara langsung maupun tidak langsung.
22.     Peniruan: Iklan tidak boleh dengan sengaja meniru iklan produk pesaing sedemikian rupa sehingga dapat merendahkan produk pesaing, ataupun menyesatkan atau membingungkan khalayak. Peniruan tersebut meliputi baik ide dasar, konsep atau alur cerita, setting, komposisi musik maupun eksekusi. Dalam pengertian eksekusi termasuk model, kemasan, bentuk merek, logo, judul atau subjudul, slogan, komposisi huruf dan gambar, komposisi musik baik melodi maupun lirik, ikon atau atribut khas lain, dan properti. Iklan tidak boleh meniru ikon atau atribut khas yang telah lebih dulu digunakan oleh sesuatu iklan produk pesaing dan masih digunakan hingga kurun dua tahun terakhir.
23.     Istilah Ilmiah dan Statistik: Iklan tidak boleh menyalahgunakan istilah-istilah ilmiah dan statistik untuk menyesatkan khalayak, atau menciptakan kesan yang berlebihan.
24.     Ketiadaan Produk: Iklan hanya boleh dimediakan jika telah ada kepastian tentang tersedianya produk yang diiklankan tersebut.
25.     Ketaktersediaan Hadiah: Iklan tidak boleh menyatakan “selama persediaan masih ada” atau kata-kata lain yang bermakna sama.
26.     Pornografi dan Pornoaksi: Iklan tidak boleh mengeksploitasi erotisme atau seksualitas dengan cara apa pun, dan untuk tujuan atau alasan apa pun.
27.     Khalayak Anak-anak: Iklan yang ditujukan kepada khalayak anakanak tidak boleh menampilkan hal-hal yang dapat mengganggu atau merusak jasmani dan rohani mereka, memanfaatkan kemudahpercayaan, kekurangpengalaman, atau kepolosan mereka. Film iklan yang ditujukan kepada, atau tampil pada segmen waktu siaran khalayak anakanak dan menampilkan adegan kekerasan, aktivitas seksual, bahasa yang tidak pantas, dan atau dialog yang sulit wajib mencantumkan kata-kata “BimbinganOrangtua” atau simbol yang bermakna sama.


C.   Analisis Kasus
Menurut Vestergaard dan Schroder (dalam Rani,2004:20-23) fungsi bahasa dalam komunikasi meliputi fungsi eksperesif, fungsi direktif, fungsi informasional, fungsi metalingual, fungsi interaksional, fungsi kontekstual, dan fungsi puitik. Halliday (dalam Sumarlam, 2003: 1-3) mengemukakan tujuh fungsi bahasa yaitu fungsi instrumental, fungsi regulasi, fungsi representatif, fungsi interaksional, fungsi perorangan, fungsi heuristik, dan fungsi imajinatif. Berikut ini dipaparkan fungsi bahasa yang meliputi fungsi ekspresif, fungsi direktif, fungsi informasional, fungsi metalingual, fungsi interaksional, fungsi kontekstual, fungsi puitik, dan fungsi imajinatif.
1.    Fungsi Ekspresif
Fungsi ekspresif mengarah pada penyampaian ekspresi kepada komunikator. Fungsi ekspresif ini bisa digunakan untuk mengekspresikan emosi atau perasaan penyampai pesan. Fungsi ekspresif  dapat digunakan untuk mengungkapkan rasa senang, rasa sedih, rasa sakit, meninta maaf, memohon dan lain-lain.
2.    Fungsi Direktif
Fungsi direktif  dapat digunakan untuk mempengaruhi orang lain. Jadi, fungsi direktif ini berorientasi pada penerima pesan. Bahasa digunakan untuk mempengaruhi orang lain dengan cara mengingatkan, memerintah, memesan, mengingatkan, mengancam, dan lain-lain.  Halliday (dalam Sumarlam, 2003:1) menyebut fungsi ini dengan istilah fungsi instrumental. Fungsi ini dikenal dengan fungsi perintah atau imperatif. Fungsi direktif ini bahasa berfungsi menghasilkan kondisi-kondisi tertentu dan menyebabkan terjadinya peristiwa-peristiwa tertentu. Dalam fungsi direktif ini bahasa tidak hanya membuat si pendengar melakukan sesuatu, tetapi melakukan kegiatan sesuai yang diinginkan pembicara (Chaer, 2004:15)
3.    Fungsi Informasional
Fungsi Informasional adalah fungsi bahasa yang digunakan untuk menginformasikan sesuatu. Fungsi ini dapat digunakan untuk mendeskripsikan, menjelaskan atau menginformasikan sesuatu. Halliday (dalam Sumarlam, 2003:2) menyebut fungsi ini dengan istilah fungsi pemerian atau representatif. Dalam fungsi ini bahasa dapat digunakan untuk melaporkan realitas yang sebenarnya seperti yang dilihat atau dialami orang.
4.    Fungsi Metalingual
Fungsi metalingual adalah  fungsi bahasa yang berfokus pada kode. Bahasa digunakan untuk membicarakan atau menjelaskan  bahasa. Contoh yang diberikan Chaer (2004:17) yaitu kaidah-kaidah atau aturan-aturan bahasa dijelaskan dengan bahasa. Dalam kamus monolingual bahasa digunakan untuk menjelaskan arti bahasa itu sendiri.


5.    Fungsi Interaksional
Fungsi Interaksional digunakan untuk mengungkapkan, mempertahankan, dan mengakhiri komunikasi antara penutur dan lawan tutur. Keberlangsungan komunikasi  memerlukan pengetahuan tentang tata krama pergaulan. Misalnya, penyapa menyapa dengan sapaan yang hormat,  penutur juga harus mempertimbangkan siapa mitra tuturnya, adat-istiadat, serta budaya lokal yang berlaku (Halliday dalam Rani, 2003:2)
6.    Fungssi Kontekstual
Fungsi kontekstual berfokus pada konteks pemakaian bahasa. Jadi, konteks sangat menentukan makna bahasa yang digunakan. Dalam fungsi kontekstual ini dijelaskan bahwa bahasa yang sama mempunyai makna yang berbeda jika konteksnya berbeda.
7.    Fungsi Puitif
Fungsi puitik bahasa berorientasi pada kode dan makna. Dalam fungsi ini unsur seni sangat ditonjolkan misalnya pemakaian,ritme dan  rima
8.    Fungsi Imajinatif
Fungsi ini biasanya digunakan untuk menulis cerpen, dongeng, novel  dan sebagainya. Melalui bahasa dapat diciptakan mimpi-mimpi  yang indah seperti yang diinginkan

Seperti yang telah kita ketahui bahwa produk shampo Clear disini telah hadir di Indonesia sejak tahun 1975 yang dimana secara usia, kehadirannya di negeri ini bisa dibilang telah cukup lama untuk sebuah merek shampo. Seperti apa yang telah dipaparkan diatas bahwa shampo Clear disini dikenal sebagai shampo yang ahli dalam menghilangkan ketombe. Hal ini terlihat ketika iklan-iklan yang disampaikan selalu tidak jauh dari kata-kata “anti ketombe”, hal inilah yang telah membentuk mindset khalayak bahwa shampo Clear disini merupakan shampo yang ahli dalam mengobati atau menghilangkan ketombe kepala. Kata-kata “anti-ketombe: tersebut dapat dengan mudah ditemukan dalam iklan shampo Clear, diantaranya di media iklan elektronik seperti di televisi dan radio, lalu di media cetak seperti misalnya iklan surat kabar, majalah, spanduk, bahkan baliho. Sama seperti kasus yang pernah dilakukan oleh produk atau merek lain pada umumnya, iklan Clear disini juga pernah menampilkan iklan yang dianggap tidak sesuai dengan aturan yang terdapat dalam Etika Pariwara Indonesia.
Berikut merupakan salah satu contoh foto iklan cetak berupa baliho shampo Clear yang dianggap telah menyalahi etika periklanan yang ada di Indonesia:

Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjxmznEBKjKO7E1OkP53q7WiNZZpjx63mBaW8W2ScSh8f33KF_jS8vckK4ENK6lXPwZjF1fpJP7k6I7JethXKX6eQpEXR-vnR5mFndfGHTL-VGUARI8DA3mKQ8e0idQE8mBpLtpWZKY17xV/s320/img00473-20120704-0834.jpg

Baliho ini ditemukan di jalan menuju keluar tol semanggi. Iklan ini melanggar, Alasannya adalah karena memakai kata NO. 1, dalam Tata krama isi iklan, kata NO.1 melanggar aturan “bahasa”. (Risna Yulianti, 2013) Seperti yang kita ketahui bahwa pada dasarnya sebuah bidang periklanan itu tentu saja memiliki suatu aturan tertulis yang bersifat resmi dengan tujuan untuk mengatur tentang segala aturan yang baik dan benar sehingga dapat meminimalisir atas bentuk-bentuk pelanggaran iklan yang bisa dibilang kurang etis atau tidak sesuai dengan aturan yang telah berlaku.
Selanjutnya, berdasarkan foto iklan baliho shampo Clear tersebut terlihat bahwa Clear menampilkan kalimat dengan kata-kata “Shampo Anti Ketombe No.1”. Nah, kata-kata ini bisa dikatakan telah menyalahi aturan yang telah tersedia di Etika Pariwara Indonesia, dalam ketentuan yang telah dicantumkan yaitu bagian Tata Krama No.1 yaitu Isi Iklan perihal 1.2 mengenai Bahasa nomor 1.2.2 telah dikatakan bahwa Iklan tidak boleh menggunakan kata-kata superlatif seperti “paling”, “nomor satu”, ”top”, atau kata-kata berawalan “ter“, dan atau yang bermakna sama, tanpa secara khas menjelaskan keunggulan tersebut yang harus dapat dibuktikan dengan pernyataan tertulis dari otoritas terkait atau sumber yang otentik.
Sudah jelas bahwa iklan baliho shampo Clear disini telah melanggar aturan yang telah dijelaskan dalam Etika Pariwara Indonesia karena penggunaan kata-kata “Shampo Anti Ketombe No.1” yang tercantum dalam visual iklan di baliho tersebut. Yang menjadi persoalan saat ini ialah bahwa shampo Clear tersebut belum bisa membuktikan secara otentik bahwa ia memang benar-benar ampuh bisa menghilangkan ketombe secara maksimal. Apabila hal ini tetap terus berlajut dibiarkan, dikhawatirkan akan terus mampu mempengaruhi orang awam ketika melihat iklan tersebut untuk pertama kalinya dan tidak mencerna baik-baik apa maksud dari kata-kata yang tersedia pada iklan tersebut, maka orang awam tersebut dikhawatirkan akan sangat mudah percaya terhadap iklan yang belum tentu akan kebenarannya. Tentu saja hal ini memiliki efek yang kurang baik juga terhadap konsumen karena dalam hal ini seakan-akan konsumen terlihat sangat mudah dipermainkan oleh iklan-iklan yang telah ada.
Pengaruh atas dasar susunan kata-kata yang tercantum pada suatu iklan memang pada dasarnya sengaja dibuat dengan tujuan untuk menarik minat calon konsumen serta diharapkan nantinya akan terjadi tindakan untuk melakukan pembelian terhadap produk tersebut. Tetapi ketika akan melakukan hal ini sebaiknya terlebih dahulu memperhatikan syarat-syarat atau ketentuan yang berlaku dan telah disepakati bersama, dalam bidang periklanan ini maksudnya ialah mentaati ketentuan yang ada di dalam Etika Pariwara Indonesia. Selanjutnya, disini iklan memiliki kemampuan untuk mempengaruhi orang yang melihatnya terlebih pada iklan yang apabila memiliki warna yang mencolok misalnya, gambar yang mampu menyita perhatian publik serta susunan kata-kata yang kreatif sehingga mampu mencuri perhatian banyak orang. Bahasa yang disusun sedemikian rupa akan dapat menjadi sebuah bombardir apabila rangkaian kata-kata tersebut berhasil memikat hati para konsumen.  







BAB III
PENUTUP

A.   Kesimpulan
Clear merupakan produk shampoo yang diperkenalkan sejak tahun 1975, untuk memasuki sasaran pasar yang di inginkan sesuai target, Clear memasarkan produknya dengan menggunakan media periklanan. Dari beberapa iklan yang telah ditayangkan clear dengan terus menerus menggunakan kata-kata “anti ketombe”, hal inilah yang telah membentuk mindset khalayak bahwa shampo Clear disini merupakan shampo yang ahli dalam mengobati atau menghilangkan ketombe kepala. Dan pemasangan iklan yang berada di daerah Tol Semanggi, Iklan ini melanggar, Alasannya adalah karena memakai kata NO. 1, dalam Tata krama isi iklan, kata NO.1 melanggar aturan “bahasa”. (Risna Yulianti, 2013)
Tentunya hal tersebut melanggar etika periklanan di Indonesia, sesuai dengan Etika Pariwara Indonesia yang telah disepakati oleh Organisasi Periklanan dan Media Massa tahun 2005.



DAFTAR PUSTAKA
http://addiction.id/epi.pdf
http://pradityaari.blogspot.co.id/2015/12/iklan-shampo-clear-yang-melanggar-etika.html